SEJARAH

SEJARAH & LATAR BELAKANG BERDIRINYA PONBOD ALFRUSTASIYAH
CARUBAN LASEM

Dilihat dari namanya agak aneh memang, Pon-Bod (Pondok Bodo) Alfrustasiyah, tapi memang begitulah kenyataannya. Orang orang yang menimba ilmu di sini umumnya mereka yang mengalami depresi, frustasi atau orang orang yang hampir putus asa dengan keadaan dan beban hidupnya. Namun sebagian ada juga yang sekedar mencari berkah (tabarrukan) untuk kelangsungan masa depan hidup mereka.

Secara geografis lokasi pondok ini terletak di dusun Caruban Desa Gedongmulyo Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, salah satu kabupaten di ujung timur wilayah Jawa Tengah, berjarak + 12 KM ke arah timur kota Rembang dan berbatasan langsung dengan laut jawa. Tepatnya berada di sebelah barat komplek makam Nyai Ageng Maloka (kakak perempuan dari Sunan Bonang).

Ponbod Alfrustasiyah dirintis pada tahun 1973 an oleh KHR. Hambali Abu Syuja’ Arruslani, seorang ulama nyentrik yang berasal dari Demak dan Ibu Nyai Hj. Shofiah (putri KH. Baidlowi Rembang). Setelah menikah, mbah Hambali muda banyak mengalami tantangan hidup yang luar biasa, bahkan dari mertuanya sendiri. Sikapnya yang kontroversial banyak menuai kecaman dari warga sekitar dan bahkan banyak kyai juga yang tidak cocok dengan sepak terjang beliau. Kondisi inilah yang mendorong beliau untuk sowan kepada gurunya, Kyai Hamid Pasuruan. Dan dari Kyai Hamid-lah beliau mendapatkan petunjuk untuk mencari lokasi dan menetap di pesisir pantai utara dekat makam Nyai Ageng Maloka.

Dusun Caruban tempat Mbah Hambali mendirikan Pondok berada di pelosok dan jauh dari keramaian kota, sudah tentu suasananya relatif tenang dan nyaman. Di masa masa awal pendirian pondok, mbah Hambali tidak memiliki bekal materi yang cukup. Bahkan untuk tempat tinggal-pun belaiu memanfaatkan material seadanya. Namun berkat ketekunan dan kegigihan beliau dalam berikhtiar dan berusaha, lambat laun berdirilah bangunan megah seperti sekarang ini.

Di ceritakan dari berbagai sumber, masa masa awal kedatangan mbah Hambali di dusun Caruban beliau tinggal di komplek makam yang terkenal angker. Tidak satupun warga masyarakat sekitar yang berani melakukan aktifitas di kawasan tersebut, karena memang tidak jarang orang yang memasuki wilayah tersebut tidak akan bisa kembali lagi alias meninggal, atau dalam istilah jawa disebutkan jalmo moro jalmo mati. Namun setelah keberadaan mbah Hambali di daerah tersebut, lambat laun kesan angker dan wingit-pun mulai hilang sedikit demi sedikit.

Pondok yang dirintis mbah Hambali ini adalah suatu pondok dengan sistem pembelajaran yang sangat unik. Kitabnya tanah dan penanya cangkul. Tanah diibaratkan lembaran lembaran kertas yang dijadikan sarana menimba ilmu bagi para santri, dan cangkul diibaratkan pena yang digunakan untuk mencatat (mengolah) pada hamparan tanah yang ada untuk kemaslahatan bersama.

Di pondok bodo ini para santri dididik untuk berhubungan langsung dan berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitar. Di samping itu, mbah Hambali juga menekankankan kepada santri santrinya untuk mengolah roso, belajar laku batin dengan cara riyadhoh dan mujahadah/istighosah untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Sebagai sosok yang nyegoro, beliau tidak pernah membeda bedakan santri santrinya, baik dari latarbelakang apa, dari kondisi sosial yang bagaimana dan bahkan lulusan (alumni) dari mana … Semua diperlakukan sama.

Konon, banyak juga santri beliau dari golongan terpadang, baik pejabat pemerintah, kalangan artis hingga golongan berpangkat jendral semua diperlakukan sama. Dalam kesehariannya para santri diajarkan untuk menggarap sawah maupun tambak yang disewa mbah Hambali, mereka (santri dari golongan terpandang) juga harus ikut dan manut semua aturan dan sistem yang ada dan yang dipimpin langsung oleh beliau sendiri. Tak jarang mereka harus ikut angkat junjung hingga pakaian dan tubuhnya belepotan lumpur dan tanah. Dan tak jarang pula kegiatan di lapangan seperti ini dilakukan hingga malam hari. Itu semua dilakukan demi mencapai maksud tujuan yang hendak dicapai para santri.

Sementara itu, pengajian kitab kuning yang biasanya dilakukan di berbagai pondok pesantren pada umunya, di pondok bodo ini nyaris tidak pernah ada. Dalam seminggu sekali, tepatnya tiap malam Jum’at para santri berkumpul untuk sekedar tahlil mendoakan para arwah ahli kubur dan dilanjutkan pembacaan maulid bersama sama. Kegiatan pengajian ilmu ilmu agama dilakukan secara umum dengan sistem ceramah dan para santri mendengarkan sambil meresapi apa yang di dawuhkan mbah Hambali. Kegiatan ceramah ini tidak mengenal waktu dan tempat, di manapun dan kapanpun beliau menghendaki maka dikumpulkanlah para santri yang ada. Namun pada dasarnya, kegiatan pengajian di ponbod alfrustasi ini lebih banyak mengutamakan praktek dari pada sekedar teori. Dengan metode seperti ini, mbah Hambali bercita cita mencetak para sanatrinya untuk menjadi generasi yang mandiri dan tangguh secara lahir batin dalam berwirausaha dan juga mempunyai dasar akidah serta agama yang kuat untuk mengimbangi tantangan di masa depan.

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya santri yang ingin mengabdi, mbah Hambali berniat mendirikan bangunan yang layak untuk dijadikan tempat tinggal para santri. Rumah sederhana yang awalnya beliau tempati bersama ibu nyai direnovasi dijadikan tempat para santri yang ingin mukim, sementara beliau membangun rumah sederhana yang tak jauh dari situ. Dengan berbekal pangestu dari Kyai Hamid, beliau juga mendapatkan petunjuk untuk mendirikan masjid yang menurut berbagai sumber dikenal sebagai masjid peninggalan mbah Nyai Ageng Maloka, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak perempuan Sunan Bonang.

Dalam proses mendirikan bangunan ini, mbah Hambali masih tetap menerapkan sistem dan metode pembelajaran yang sama untuk para santrinya. Para santri di samping ditugaskan menggarap areal sawah dan tambak, ada juga santri yang mempunyai keahlian di bidang bangunan (tukang kayu dan tukang batu) untuk diperbantukan untuk mendirikan bangunan pondok dan masjid.

Banyak cerita menarik ketika mbah Hambali mulai mendirikan bangunan, baik bangunan ndalem maupun masjid di areal pondoknya. Dalam penggalian lobang untuk pondasi misalnya, para tukang dan santri sering menemukan tulang belulang, bahkan tengkorak manusia. Tidak hanya itu, beliau bersama santri santrinya juga menemukan aliran sungai kecil yang tembus ke laut, yang menurut sebagian orang aliran sungai kecil tersebut merupakan peninggalan zaman penjajah yang diperuntukkan untuk menyelundupkan candu di masa kerajaan yang dipimpin mbah Nyai Ageng Maloka. Namun untuk kemaslahatan bersama, aliran sungai kecil tersebut ditutup kembali dan tulang belulang manusia yang ditemukan dikubur kembali layaknya orang meninggal di areal pemakaman umum yang terletak di sebelah timur komplek pondok.

Sama halnya ketika mulai membangun masjid yang tak jauh dari ndalem beliau. Awal pembangunan masjid yang dipimpin langsung oleh kyai Hamid dalam penentuan letak dan ukurannya ini juga memiliki cerita tersendiri. Di samping sering ditemukannya tulang belulang dan tengkorak manusia, proses pembangunan masjid ini juga tidak seperti biasanya. Entah sudah berapa puluh kali pembangunan masjid ini mengalami bongkar-pasang. Bangunan belum sempat jadi secara sempurna dibongkar kembali rata tanah, kemudian dibangun kembali dan dibongkar lagi. Entah apa maksud dan tujuan mbah Hambali dalam proyek bongkar-pasang tersebut. Bahkan tidak hanya bangunan masjid yang mengalami bongkar-pasang, bangunan pondok-pun demikian.

Menurut sebagian sumber diceritakan bahwa mbah Hambali dalam membangun masjid dan pondoknya tidak mau tercampur walaupun sedikit dengan barang barang syubhat, apalagi haram. Itulah yang mendasari mengapa bangunan masjid dan pondok selalu mengalami bongkar-pasang, bahkan hingga belaiu wafat-pun bangunan masjid belum jadi secara sempurna.

Proses pembangunan pondok dan masjid yang mengalami bongkar-pasang ini ini juga banyak sekali pesan moral yang bisa dijadikan sarana menimba ilmu di ponbod Alfrustasiyah. Dari sisi material bongkaran yang sudah tidak terpakai misalnya, oleh mbah Hambali tidak diperbolehkan dibuang begitu saja, asalkan masih bisa dimanfaatkan, belaiu mewajibkan santri santrinya memanfaatkan material tersebut hingga benar benar tidak bisa dimanfaatkan kembali. Paku paku yang sudah bengkok diluruskan kembali, potongan potongan kayu dan papan dirangkai hingga bisa digunakan dan bongkahan bongkahan cor dikumpulkan menjadi satu. Banyak sekali kenangan para santri yang ketika mondok setiap harinya ngaji nyabutin paku dan meluruskannya, ada juga santri yang setiap harinya ngaji mindah material cor dan batu dari satu tempat ke tempat lain, ada juga santri yang setiap harinya membuat galian pondasi. Tugas tugas tersebut diberikan mbah Hambali sesuai dengan wadah keilmuan yang dimiliki oleh pibadi masing masing santri. Aneh dan unik, tetapi memang begitulah kenyataannya.

Awal awal pendirian pondok, mbah Hambali tidak melabeli pondoknya sebagai mana pondok pondok pada umumnya. Orang orang dan bahkan para santri pun hanya menyebutkan pondok’e mbah Hambali. Namun seiring berjalannya waktu, mbah Hambali memberi nama pondoknya dengan sebutan Hikmatus Syariah yang kemudian dirubah menjadi Hikmatus Sababain dan dirubah kembali menjadi Alfrustasi dan terakhir menjadi Alfrustasiyah.

Apa maksud tujuan beliau memberi nama tersebut tidak ada orang yang tahu, namun memang sejak awal sudah banyak dikenal sebagai pondoknya orang orang setres. Peralihan nama menjadi Pondok Bodho Al-Frustasiyah (alfrustasi walprestasi) sampai sekarang banyak mengalami kemajuan serta sudah dikenal oleh masyarakat luas. Peralihan nama tersebut mengandung harapan dan doa untuk para santri yang awalnya mengalami kegalauan yang luar biasa menjadi berprestasi dan lebih berguna dalam bermasyarakat. Waktu itu banyak tamu dan tidak sedikit santri yang datang kepada beliau untuk mendapat bimbingan dan solusi kehidupan. Ini merupakan Pondok Pesantren yang mampu menampung banyak santri dari berbagai kalangan yang mengalami stress, frustasi, putus asa dan sebagainya. Mbah Hambali menggambarkan Pondok Bodho “Al Frustasiyah” kepada orang-orang yang mau nyantri dengan dawuhnya sebagai berikut : ” Maaf di sini tidak sombong dan tidak sesumbar, ini bukan pondok pesantren dan hanya pondok- pondokan (ponker-pondok kerja). Siap menampung orang sing podo kesasar, dan podo buyar. Selain itu juga menampung anak-anak yatimpiatu, juga orang-orang yang kurang mampu, serta orang yang terbeku. Terus terang di sini tempat tak terhajar dan tak usah membawa bahan bakar, asal siap ikhtiar dan Tawakal pada Tuhan yang Maha Besar.

Wallahu A’lam